الجمعة

1446-06-26

|

2024-12-27

 

KESAKSIAN PENGALAMAN: BAGAIMANA DR. ALI MUHAMMAD ASH-SHALLABI MENULIS BUKU DAN ARTIKELNYA?

Oleh: Dr. Thalib Abdul Jabbar Ad-Dughaim

 

Dari waktu ke waktu, muncul pertanyaan dan kritik mengenai metodologi Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi dalam menulis berbagai buku dan artikelnya, baik dalam bidang tafsir, kisah-kisah Al-Qur'an, maupun sejarah Islam. Kadang-kadang, tuduhan terhadap dirinya secara jelas ditujukan melalui media sosial tanpa verifikasi atau pengecekan yang mendalam, sehingga hal itu memicu kembali perdebatan dan diskusi di media, serta menimbulkan banyak perbincangan. Sering kali  kritik-kritik ini menyerang kredibilitas dan integritas ilmiah Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi. Sementara seseorang bertanya: Bagaimana Dr. Ali Ash-Shallabi berhasil menerbitkan begitu banyak buku dan artikel? Orang lain berpendapat bahwa buku-bukunya tentang sejarah Islam mirip dengan seseorang yang mengumpulkan kayu bakar di malam hari, Hathib Al-Lail, tanpa membedakan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya. Sedangkan yang lain keberatan atas kurangnya dokumentasi yang tepat dalam artikel dan terbitannya, mempertanyakan sejauh mana komitmennya terhadap integritas ilmiah. Ada juga yang menambahkan kritik tentang kutipan-kutipannya yang diambil tanpa izin atau pengutipan yang tepat dari pemilik buku dan referensi kontemporer!

Meskipun Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi telah sering menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, menjelaskan dalam publikasinya, wawancara pers, dan pertemuannya dengan beberapa peneliti dan pemerhati, tentang sifat pekerjaannya, minatnya, serta metodologinya dalam penelitian, klasifikasi, dan penulisan, saya merasa bahwa adalah adil bagi saya untuk berbagi pendapat saya tentang karya dan buku-buku Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi, terutama karena saya bekerja bersamanya selama lebih dari enam tahun, di mana saya meninjau, memeriksa, mengedit, dan menambahkan beberapa karyanya, yang jumlahnya lebih dari lima belas buku. Berdasarkan pengalaman ini, pertanyaan-pertanyaan tersebut mendorong saya untuk menyampaikan sudut pandang saya, sebagai berikut:

Pertama, metodologi Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi dalam menulis buku tidak berubah selama tiga dekade terakhir, baik dalam cara mengumpulkan materi ilmiah, mendokumentasikannya, atau dalam banyaknya referensi yang digunakan, baik dari sumber asli maupun tulisan-tulisan modern (yang diakui). Ia bekerja dengan mengumpulkan informasi dan bukti untuk memperkuat dan mendukung ide-idenya serta argumennya. Kadang-kadang, dalam satu buku, ia mengandalkan lebih dari 150 sumber dan referensi, seperti dalam bukunya Ad-Daulah Al-Haditsah Al-Muslimah (Negara Muslim Modern) sebanyak 200 sumber dan referensi, bukunya yang terkenal As-Sirah An-Nabawiyyah sebanyak 359 sumber dan referensi, bukunya Al-Anbiya’ Al-Muluk (Para Nabi Raja) serta Haikal Sulaiman Al-Muftara (Klaim Palsu tentang Haikal Sulaiman) sebanyak 228 sumber dan referensi, bukunya Luth Alaihissalam sebanyak 188 sumber dan referensi, bukunya Hud Alaihissalam sebanyak 177 sumber dan referensi, dan bukunya Shalahuddin Al-Ayyubi sebanyak 215 sumber dan referensi. Ini hanya beberapa contoh saja.

Ada banyak contoh dalam buku-buku Dr. Ali Ash-Shallabi, di mana dalam satu bab atau satu kajian dari sebuah buku yang tidak lebih dari 50 halaman, terdapat sekitar 50 sumber dan referensi yang terdokumentasi. Kadang-kadang, dalam satu makalah ilmiah atau artikel sepanjang 5 hingga 15 halaman, ia mengandalkan 20 sumber dan referensi, dengan rujukan yang jelas kepada pemilik sumber atau referensi tersebut, serta dokumentasi yang tepat mengenai tahun, penerbit, nomor edisi, dan sebagainya. Dia tidak hanya mengandalkan satu referensi saja, tetapi memperoleh konten ilmiah untuk bukunya dari berbagai sumber dan referensi yang luas, yang tidak mungkin baginya untuk berkonsultasi dengan semua penulis atau pemiliknya tentang apa yang ia ambil dari buku mereka, atau bagaimana ia mengambilnya, atau bagaimana mereka ingin diambil! Dalam hal ini, ia seperti peneliti dan penulis lainnya yang mendapatkan inspirasi dari karya-karya, ide-ide, dan pemikiran para penulis dan peneliti sebelumnya, dan para ulama yang berkompeten. Terkadang ia mengutip atau mengambil dengan penyesuaian, dan kadang-kadang menambahkan pada apa yang diambilnya. Ini adalah kebiasaan sebagian besar penulis dan pengarang di setiap waktu dan tempat, dan Dr. Ali Ash-Shallabi bukanlah yang pertama melakukannya!

Kedua, saya menghabiskan banyak waktu untuk mengikuti, memeriksa, dan meninjau metodologi Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi dalam menulis buku; melalui komunikasi saya yang erat dengannya, serta tinjauan langsung saya terhadap naskah asli bukunya. Sebagai seseorang yang mengawasi peninjauan dan pengeditan banyak bukunya, saya melihat dengan jelas bahwa ia mengikuti rencana waktu yang terstruktur dan terorganisir dalam pekerjaannya, meskipun sibuk dengan berbagai kegiatan Persatuan Ulama Muslim Sedunia dan upaya-upaya reformasinya dalam urusan politik dan sosial di Libya.

Ia membangun rencana penulisannya melalui beberapa tahap yang berurutan; dimulai dari tahap membeli buku-buku dari pameran, penerbit, dan situs web, kemudian beralih ke tahap menyusunnya, menghitungnya, mengkajinya, dan membaca bagian-bagian yang bermanfaat dari buku-buku tersebut, lalu meringkas banyak idenya. Proses ini berlangsung lebih dari dua atau tiga bulan berturut-turut, kemudian ia bekerja menulis naskah pertama dengan tulisan tangan; menggunakan pena biru di atas kertas karton, dan terus melakukannya selama beberapa bulan tambahan, hingga menghasilkan naskah pertama. Naskah ini kemudian dipindahkan ke komputer, diedit, dan diperiksa secara linguistik dan ilmiah, dengan mengirimkan salinannya kepada beberapa ahli dan akademisi. Tinjauan ini berakhir dengan evaluasi dan revisi sesuai dengan masukan mereka, yang diperhatikan dengan cermat. Tahap ini diakhiri dengan penulisan pengantar buku oleh salah satu pemikir atau ilmuwan yang ahli, dan selanjutnya, buku tersebut dialihkan ke penerbit untuk menjalani peninjauan editorial yang ketat. Akhirnya, Dr. Ali Ash-Shallabi memberikan pendapat pribadinya tentang buku tersebut sebelum dicetak, dikirim, didistribusikan, dan dipublikasikan kepada masyarakat.

Ketiga, salah satu pengalaman praktis yang saya alami bersama Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi adalah berpartisipasi dalam sesi kerja intensif untuk menyusun gambaran awal dalam memulai penulisan proyek bersama kami, Ensiklopedia Sejarah Abbasiyah. Proyek ini melibatkan penelitian, verifikasi, dan studi dari sumber-sumber dan referensi sejarah, politik, fiqih, militer, dan diplomasi yang paling penting dari periode tersebut. Saya berdiskusi dengannya dalam beberapa sesi yang berlangsung lebih dari tiga bulan. Selama itu, saya melihat darinya hal-hal yang tidak saya temui pada penulis, sejarawan, dan ulama lain yang saya kenal; dalam hal kesabarannya, kehati-hatiannya, kerendahan hatinya, kesabarannya dalam mendengarkan, serta penghargaan dan apresiasinya terhadap pendapat orang lain. Sesi-sesi tersebut berlangsung lama dan tidak pernah membuatnya bosan, ia hanya menghentikannya untuk melaksanakan shalat wajib atau mengambil istirahat singkat sambil menikmati kopi Arab dan kurma. Selama periode tersebut, kami menelusuri fase-fase penting dari sejarah Abbasiyah, membacanya dalam sumber-sumber sejarah utama seperti Al-Bidayah wa Nihayah karya Ibnu Katsir, serta Siyar A'lam An-Nubala' dan Tarikh Al-Islam karya Al-Dzahabi, selain mempelajari berbagai referensi lainnya, serta banyak penelitian ilmiah dan disertasi universitas lama dari perpustakaan ilmiahnya yang besar di Istanbul. Pengalaman saya dengannya sangat bermanfaat, menyenangkan, dan luar biasa.

Keempat, saya perhatikan bahwa Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi selalu mengulangi dokumentasi referensi yang ia gunakan dalam karyanya, tanpa pernah mengklaim satu paragraf atau kalimat pun sebagai miliknya kecuali jika itu ditulis dengan tangannya sendiri dan merupakan hasil pemikirannya, atau mencerminkan pandangannya tentang suatu masalah. Hal ini berlaku juga pada tulisan, artikel, dan publikasi yang ia unggah di situs web dan koran di internet. Namun, perlu dicatat bahwa beberapa koran dan situs web tersebut sering menghapus daftar sumber dan referensi yang ada di akhir artikel, sebagai bagian dari kebijakan publikasi mereka yang mungkin mensyaratkan jumlah kata tertentu untuk artikel atau tulisan, seperti yang terjadi di: Blog Arab, Blog Al-Jazeera, Surat Kabar Al-Arab, Arabi 21, Majalah Al-Mujtama' Kuwait, dan lainnya. Alasannya karena mereka menganggapnya sebagai tulisan yang mencerminkan suatu ide atau menyampaikan pesan tertentu, yang menurut mereka tidak memerlukan penyebutan sumber dan referensi.

Kelima, Syaikh Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi tidak menulis bukunya sembarangan hanya untuk menambah jumlah koleksi judul buku atau untuk bermegah-megah dengan karyanya. Beliau menerbitkan buku-bukunya sesuai dengan kebutuhan umat dan isu-isu yang dihadapinya. Ketika melihat kondisi keputusasaan dan kekecewaan dalam umat pada tahun 1990-an dan awal milenium ketiga, yang bertepatan dengan invasi Afghanistan (2001) dan pendudukan Irak (2003), serta serangan Zionis di Palestina, beliau memulai serangkaian buku sejarah Islam, dimulai dari Sirah Nabi, sejarah para khalifah, Dinasti Umayyah, Seljuk, Zanki, Shalahuddin, hingga Dinasti Utsmaniyah. Ketika proyek orang-orang yang merusak masyarakat muslim semakin banyak, ia menerbitkan beberapa buku seperti Fiqh An-Nashr wa At-Tamkin (Panduan Meraih Kemenangan dan Kejayaan), Fiqh At-Taqaddum Ilallah (Fikih Menghadap Allah), Kifah Asy-Sya’b Al-Jaza’iri (Perjuangan Rakyat Aljazair), Al-Harakah As-Sanusiyyah (Gerakan Sanusiyah), dan Sunnatullah fi Al-Akhdzi bi Al-Asbab (Sunnatullah dalam Menjalankan Usaha). Ia juga tidak melupakan perjuangan rakyat Libya dalam membebaskan diri dari ketidakadilan serta pentingnya memperbaiki institusi negara dan masyarakat setelah tahun 2011, sehingga ia menerbitkan buku Al-Adalah wa Al-Mushalah Al-Wathaniyyah (Keadilan dan Rekonsiliasi Nasional: Kebutuhan Agama dan Kemanusiaan), dan buku Al-Masyru’ Al-Wathani li As-Salam wa Al-Mushalah (Proyek Nasional untuk Perdamaian dan Rekonsiliasi). Ia juga menulis buku untuk mendekatkan berbagai mazhab dan memperbaiki hubungan antara gerakan-gerakan Islam, seperti dalam bukunya Al-Ibadhiyyah Madrasah Islamiyyah Hamba’idah an Al-Khawarij (Aliran Ibadhi: Mazhab Islam yang Jauh dari Khawarij).

Selain itu, ia menemukan kekurangan yang jelas dalam perpustakaan Islam di bidang kisah para Nabi dan Rasul (menurut metodologi Al-Qur’an), sehingga ia menerbitkan ensiklopedia besar Nasy’ah Al-Hadharah Al-Insaniyyah wa Qadatuha Al-Izham (Awal Peradaban Manusia dan Para Pemimpin Besarnya) sebagai sebuah narasi dengan pendekatan metodologis dan tafsir, yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikannya. Dalam perjuangan rakyat Palestina, umat Islam, dan para pejuang kemanusiaan melawan para penjajah Zionis, yang mengandalkan kebohongan dan fitnah sejarah dalam menduduki Palestina dan Masjid Al-Aqsha, ia menerbitkan buku Al-Anbiya’ wa Al-Muluk dan Qishshah Al-Haikal Al-Maz’um, yang mengungkap kebohongan dan fitnah mereka dengan bukti yang kuat. Seiring dengan meluasnya fenomena kerusakan moral dan penyimpangan seksual di dunia, ia menerbitkan bukunya Luth Alaihissalam wa Da’watuhu fi Muwajahah Al-Fasad wa Asy-Syudzudz Al-Jinsi wa Iqab Azh-Zhalimin (Luth Alaihissalam dan Dakwahnya dalam Menghadapi Kerusakan dan Penyimpangan Seksual, serta Hukuman bagi Orang-orang Zhalim), dan seterusnya...

Keenam, metode banyak ulama, ahli hadits, dan sejarawan terdahulu maupun kontemporer didasarkan pada penulisan sejarah naratif, atau metode penyalin, yang dikenal di kalangan sejumlah ulama dan pemikir Muslim. Mereka berusaha menyampaikan informasi dari sumber-sumber sebelumnya tanpa perubahan atau analisis. Salah satu penafsir dan sejarawan yang terkenal mengikuti metode ini (semoga Allah merahmati mereka) adalah Imam Ath-Thabari (224 - 310 H./839 - 923 M.), yang terkenal dengan bukunya Tarikh Ar-Rusul wa Al-Muluk, di mana ia menyampaikan riwayat-riwayat sebagaimana adanya dari berbagai sumber. Abu Al-Faraj Abdurrahman bin Al-Jauzi (510 - 597 H./1116 - 1201 M.) juga mengandalkan penyalinan kata demi kata dari sumber-sumber sebelumnya dalam bukunya, seperti Al-Muntazham fi Tarikh Al-Muluk wa Al-Umam. Demikian pula, Al-Allamah Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi (701 - 774 H./1301 - 1373 M.) dalam ensiklopedia sejarahnya Al-Bidayah wa Nihayah menyampaikan banyak peristiwa sebagaimana adanya dari sumber-sumber sebelumnya.

Selain itu, ada karya-karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi (849 - 911 H./1445 - 1505 M.), yang merupakan salah satu ulama Muslim ensiklopedis terkemuka pada masanya. Ia menulis banyak buku dalam bidang sejarah, tafsir, hadits, dan fiqih. Dalam bidang sejarah, As-Suyuthi mengandalkan metode penyalinan kata demi kata dari sumber-sumber; dalam bukunya Tarikh Al-Khulafa, ia mengumpulkan informasi dari sumber-sumber lama, menjaga teks-teksnya sebagaimana adanya, tanpa menambahkan analisis pribadinya kecuali pada beberapa poin. As-Suyuthi sangat memperhatikan dokumentasi informasi yang disalin dari ulama terdahulu, dengan menyebutkan nama-nama sejarawan dan sumber-sumber yang digunakannya, sehingga karyanya dianggap sebagai referensi yang dapat dipercaya bagi mereka yang ingin menelusuri asal-usul informasi.

Di antara sejarawan dan pemikir muslim kontemporer yang juga mengandalkan penyalinan kata demi kata dalam tulisan mereka adalah pemikir politik dan sejarawan Suriah, Dr. Mustafa bin Husni As-Siba'i (1333 - 1384 H./1915 - 1964 M.). Ia adalah salah satu pemikir yang menulis dalam bidang sejarah Islam, dimana ia mengandalkan penyalinan dari sumber-sumber lama, dengan beberapa komentar dan analisis.

Di antara sejarawan kontemporer yang mengikuti metode ini secara  menonjol adalah sejarawan Islam asal Mesir, Dr. Mahmud Muhammad Syakir (1327 - 1418 H./1909 - 1997 M.), yang dalam penulisannya mengandalkan sumber-sumber Islam tradisional dan menjaga teks-teks sebagaimana adanya, sambil menampilkan konteks sejarah tanpa banyak intervensi. Selain itu, ada juga sejarawan dan pemikir Islam asal India, Dr. Muhammad Hamidullah (1326 - 1423 H./1908 - 2002 M.), yang metodenya dapat dirasakan dalam penulisannya tentang sejarah Islam, di mana ia menambahkan analisisnya dengan sering kali mengandalkan penyalinan teks dari sumber-sumber tradisional. Salah satu contohnya adalah bukunya Majmu’ah Al-Watsa’iq As-Siyasiyyah li Al-Ahdi An-Nabawi wa Al-Khilafah Ar-Rasyidah (Kumpulan Dokumen Politik pada Masa Nabi dan Kekhalifahan Rasyidah), yang mengumpulkan surat-surat dan dokumen-dokumen politik yang berhasil ditemukannya dari periode tersebut.

Adapun metode yang mengandalkan penyalinan teks di dunia Barat, kadang-kadang dikenal dengan istilah kritik teks (textual criticism) atau penyuntingan teks (textual editing) dalam beberapa konteks, yaitu metode yang berfokus pada pengumpulan teks-teks kuno. Namun, metode ini biasanya disertai dengan beberapa catatan kritis, sehingga tidak dianggap sebagai penyalinan teks secara penuh. Contohnya adalah sejarawan Barat Benedict Anderson (1936-2015 M.) dalam karyanya yang terkenal Imagined Communities, dimana Anderson menggunakan berbagai sumber sejarah, termasuk teks-teks sastra dan media, dengan cara yang mendekati penyalinan teks, sambil menyajikan analisis dan kritik mendalam terhadap sebagian teks.

Pada kenyataannya, metode Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi dalam menggunakan sumber-sumber dan referensi, serta dalam menulis karyanya, mirip dengan yang telah saya sebutkan. Beliau sangat berhati-hati dalam membuat perubahan pada teks-teks yang disalin dan tidak banyak minat untuk melakukan ijtihad dalam menganalisis dan mengkritik gagasan dalam bukunya. Sebaliknya, beliau mengandalkan pendekatan ilmiah terhadap beragam sumber dan referensi, mengutip apa yang telah ia baca atau yang ia yakini dari pendapat dan tulisan para penafsir serta peneliti. Selain itu, beliau selalu menghadirkan teks Al-Qur'an setiap ada kesempatan saat menulis, karena beliau menganggap Al-Qur'an sebagai sumber segala sumber dan yang paling benar dalam menceritakan kisah dan sejarah umat manusia; masa lalu, masa kini, dan masa depan. Oleh karena itu, Dr. Ali Ash-Shallabi berkata, “Siapa pun yang menulis sejarah Islam harus memiliki latar belakang syar'i untuk mencapai kebenaran sejarah.”

Ketujuh, selama penelitian saya, saya menemukan beberapa artikel dan publikasi yang dikaitkan dengan Dr. Ali Ash-Shallabi tanpa ada konfirmasi dari beliau. Beberapa di antaranya bahkan palsu dan tidak akurat. Kadang-kadang, kita menemukan informasi dan teks yang diterbitkan, atau gagasan yang dikutip dari karya dan artikel Dr. Ali Ash-Shallabi, atau dari rekaman videonya, tetapi dipublikasikan di media sosial secara tidak lengkap dan terpotong, yang biasanya untuk tujuan pribadi atau politik, sering kali terkait dengan krisis di Libya.

Kedelapan, banyak orang yang menimba ilmu dari karya dan program Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi, termasuk kalangan ahli ilmu, siswa sekolah, dan mahasiswa di dunia Islam. Mereka memanfaatkannya dalam penelitian, tesis, dan kuliah mereka, serta mempelajari metode, minat, dan arahan beliau. Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa beliau adalah salah satu penulis yang paling banyak menerbitkan dan mendistribusikan buku di masa kini. Bukunya As-Sirah An-Nabawiyah adalah salah satu karya paling terkenal yang mengkaji kehidupan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam dan misinya. Beliau juga menulis dan menerjemahkan bukunya Al-Masih Isa bin Maryam Alaihissalam ke dalam sebagian besar bahasa utama dunia, termasuk bahasa Prancis, Inggris, Spanyol, Italia, Rusia, dan Jerman, yang bermanfaat bagi banyak orang, baik muslim maupun non-muslim.

Kesembilan, saya tidak menemukan dalam tulisan dan karya Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi adanya indikasi bahwa tujuan beliau terkait dengan mencari ketenaran atau mendapatkan keuntungan finansial, meskipun beliau sering memproduksi karya. Beliau tidak menerima bayaran apapun dari karyanya dari pihak mana pun atau penerbit, meskipun telah ditawarkan berkali-kali, namun beliau menolak. Sebaliknya, beliau memberikan izin untuk mencetak, menerbitkan, dan menerjemahkan bukunya kepada siapa saja yang menginginkannya. Hal ini menyebabkan ribuan salinan karyanya dicetak dan diterjemahkan ke lebih dari dua puluh bahasa di seluruh dunia. Motivasi yang selalu mendampingi beliau adalah mencari pahala dan ridha dari Allah. Beliau terus menegaskan bahwa tujuannya adalah untuk memperkuat agama Islam, melawan gagasan yang sesat dan menyimpang, menggalang potensi umat dalam perjuangan melawan kebatilan, serta menyediakan perpustakaan sejarah Islam yang komprehensif untuk generasi saat ini dan yang akan datang.

Kesepuluh, kesempurnaan hanya milik Allah semata, dan tidak ada manusia yang terhindar dari kesalahan; setiap karya manusia pasti memiliki kekurangan, dan hanya Allah yang tidak pernah salah. Karena karya manusia tidak lepas dari kekurangan, maka karya-karya tersebut tetap terbuka untuk kritik dan analisis. Oleh karena itu, karya-karya Dr. Ali Muhammad Ash-Shallabi, yang jumlahnya lebih dari delapan puluh dalam berbagai bidang seperti sejarah, akidah, tafsir Al-Qur'an, dan pemikiran politik Islam, tidak terlepas dari kenyataan ini; mungkin ada beberapa kekurangan dan kelemahan di dalamnya. Maka wajar jika kita terkadang menemukan penyimpangan dalam pembahasan, keluar dari ide utama dalam teks, kutipan-kutipan yang perlu diuraikan, serta beberapa kesalahan bahasa atau susunan kata yang mungkin tampak lemah dalam draf pertama sebelum dilakukan revisi dan penyuntingan. Meskipun demikian, Dr. Ash-Shallabi menunjukkan kemampuan yang luar biasa dalam menggabungkan metode Islam tradisional dengan pendekatan akademik modern dalam menafsirkan Al-Qur'an dan menulis sejarah Islam. Sebagai seorang da’i dan penulis, beliau berusaha keras dalam karyanya, berkonsultasi dengan para ahli, menerima kritik yang membangun dengan lapang dada, dan berusaha mengatasi setiap kesalahan yang ditemukan secepat mungkin.

Kesebelas, ini adalah kesaksian untuk Allah dan untuk sejarah, yang didasarkan pada pengalaman pribadi yang mendalam, yang saya alami selama periode waktu yang saya habiskan di dekat Dr. Ali Ash-Shallabi, dan saya banyak belajar selama itu. Saya memberikan kesaksian ini dengan niat yang tulus untuk Allah Azza wa Jalla, sebagai dukungan dan pertolongan bagi orang-orang beriman, ahli Al-Qur'an, pemikir, dan penuntut ilmu.

Sebagai penutup, saya merasa bahwa para ulama umat ini, para penelitinya, akademisinya, serta anak-anak dan murid-muridnya, harus bersikap adil dan bijaksana, berbaik sangka, dan berkata benar, dengan selalu menyadari bahwa Allah mengawasi setiap penilaian, ucapan, perbuatan, dan tindakan mereka, karena semuanya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah, dan mereka semua akan datang kepada-Nya pada Hari Kiamat secara sendiri-sendiri. Allah Azza wa Jalla memerintahkan untuk berlaku adil, berbuat baik, ikhlas dalam bekerja, dan memberikan nasihat dengan lembut, jujur, dan sabar. Tidak diragukan lagi bahwa ilmu yang bermanfaat adalah karunia besar dari Allah, sebagaimana firman-Nya, “Mereka menjawab, “Mahasuci Engkau. Tidak ada pengetahuan bagi kami, selain yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (Al-Baqarah: 32).

Ya Allah, ajarilah kami dengan hal-hal yang belum kami ketahui, ingatkanlah kami akan hal-hal yang telah kami lupakan, bukakanlah bagi kami berkah dari langit dan bumi, ampunilah kami dan rahmatilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

 


مقالات ذات صلة

جميع الحقوق محفوظة © 2022